Wednesday, June 04, 2008

Apa Sebenarnya Tujuan Akhir FPI dan Kaum Islamis Lainnya?

Mungkin saja, Ketua FPI, Muhammad Rizieq Shihab adalah korban permainan politik. Dengan ideologi puritannya terkadang bisa saja dia dan para asistennya menjadi naif dan ekstra lugu. Kalau kita lebih jeli melihat aksi-aksi politik FPI, tentu kita bisa menarik dari arah mana sumber dukungan ke FPI ini berasal.
Kalau saya tidak salah, FPI (dengan Laskar Pembela Islam nya) pertama kali muncul dalam demo tanggal 17 Agustus 1998. Mereka menentang semua elemen-elemen aksi yang menolak Habibie menjadi presiden.
Pada Bulan Agustus 1999, FPI/LPI melakukan demo ke MPR. Mereka mendukung pemilihan kembali Habibie menjadi presiden, dan menolak Megawati Soekarnoputri menjadi kandidat presiden dengan alasan "menurut Islam, haram hukumnya kalau perempuan menjadi presiden.
Pada kesempatan lain FPI/LPI menyerang Komnas HAM yang sedang melakukan investigasi beberapa jenderal (termasuk Menteri Pertahanan Wiranto, waktu itu) yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Menurut FPI/LPI, Komnas HAM tidak membela umat Islam (yaitu para jenderal yang muslim) tapi membela orang Timor Timur yang Nasrani.
Disini saya lebih tertarik untuk melihat ke tataran ideologis yang menggerakkan FPI dan para simpatisannya yang mayoritas berideologi Islamis dan Neo-fundamentalis.

***

Kaum Islamis dan Neo-Fundamentalis menyerukan rekonstruksi sosial dan moralitas dengan berdasarkan pada seruan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis. Mereka ingin menemukan kembali ajaran Islam tanpa ada deviasi historis, dan distorsi yang berasal dari nalar, sambil menyingkirkan segala tradisi budaya juga adat istiadat lokal yang menempel di ajaran Islam. Mereka ingin memisahkan diri dari islam tradisional yang telah mewujudkan dirinya selama 1400 tahun akumulasi tradisi pemikiran dalam kitab-kitab khazanah klasik dan kultur tradisional masyarakat-masyarakat Muslim. Akumulasi ilmu-ilmu islam ini dianggap sebagai penghambat jalan ke arah pemurnian Islam, jalan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis.
Mereka menampilkan pemutusan tajam dengan tradisi-tradisi keislaman dan pada saat yang sama menyerukan kembali ke masa lalu yang dibayangkan murni, masa lalu yang dikukuhkan kembali secara berbeda dari realitas sejarahnya, masa lalu yang steril dari segala "tahyul, bid’ah dan khurafat" yang tidak hanya berbentuk ziarah kubur waliyullah, penghargaan adat-istiadat lokal, tetapi termasuk juga tradisi fiqih-ushul fiqih madzhab, ilmu kalam, filsafat Islam, dan tentu saja tasawuf-thariqat.


***

Ketua FPI, Muhammad Rizieq Shihab, walaupun tidak menjadi Wahabi, dan bukanlah penganjur Wahabi tulen, tampaknya telah mengadopsi mentalitas Wahabisme Saudi dari tempat ia belajar: LIPIA (sekarang ada di Warung Buncit, di depan Kantor Harian Republika) dan Universitas Ibnu Su’ud di Riyadh. Jika kolega-kolega Wahabinya mengambil bentuk permusuhan terhadap musuh-musuh alamiah Wahabi, maka Rizieq Shihab menampilkan model Islam konfrontatifnya terhadap apa yang ia pandang maksiat atau kesesatan.

FPI (dan kelompok islamis dan neo-fundamentalis lainnya seperti HTI, MMI, dan lain sebagainya) hanyalah salah satu puncak gunung es fundamentalisme Islam yang bagian terbesarnya di bawah air menjangkau ke ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan Wahabi di Nejd pada abad ke 18, dan persilangannya dengan gerakan salafi modernis Islam. Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792) memutuskan untuk memisahkan diri dari Kekhalifahan Turki Usmani dan mendirikan negara sendiri di Arabia Tengah dan wilayah Teluk Persia. Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis adalah kredonya, sekaligus membuang semua fiqih-usul fiqih, tasawuf, dan falsafah warisan abad pertengahan. Ibn Abdul Wahhab menyatakan bahwa para Khalifah Turki Usmani adalah kafir, kerena mereka telah murtad dari Islam.

***

Dari sejak berdirinya hingga sekarang, aliran Wahabi ini melakukan aksinya dengan dua fokus kerja besar:

1. Penghancuran ekspresi kultur Islam tradisional. Kultur Islam tradisional ini dipandang oleh kaum Wahabi sebagai tahyul, bid’ah, dan khurafat. Ini terentang mulai dari ziarah kubur waliyullah, kesenian tradisional, praktik sufisme populis, adat istiadat lokal yang telah membaur dengan ekspresi Islam populis seperti perayaan maulid, dsb.
2. Pengkafiran dan menuding sesat (ini adalah bentuk penghancuran kultur Islam tradisionalis dalam ranah pemikiran) para ulama dalam 4 pilar tradisi intelektual spiritual Islam (Fiqih-Ushul Fiqih Madzhab, Tasawuf-Thariqat, Filsafat Islam, dan Ilmu Kalam Asy’ariyah-Maturidiyah)

Wahabi inilah yang menjelma menjadi aliran neo-fundamentalis di seluruh dunia setelah booming petro dolar Saudi di awal 70-an. Neo-fundamentalis Wahabi ini terkadang adalah mereka yang mengalami convert atau “pemurtadan”, dari Islam tradisional lalu dibrainwashed oleh lembaga-lembaga Pendidikan Islam Wahabi di Saudi Arabia atau filialnya (seperti LIPIA di Warung Buncit Jakarta) menjadi Wahabi yang kaffah atau minimal memiliki mentalitas Wahabi.
Di antara pemula ormas Islam neo-fundamentalis penerima dana Saudi yang beragenda Wahabisme adalah DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia), dari lembaga inilah pada tahun 80-an kita mulai mendengar adanya kristenisasi di Indonesia, bersamaan dengan eksploitasi permusuhan dan kebencian kepada kelompok Nasrani di Indonesia. Dari Majalah Media Dakwah terbitan DDII inilah semangat kebencian dan permusuhan kepada kelompok yang berbeda dengan mereka mulai disemai dengan baik, dengan bantuan uang Saudi Wahabi.

***

Gerakan modernis Islam yang digagas oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, dan Sayed Rayid Ridha pada abad ke 19-awal abad 20 adalah satu gerakan pembaruan Islam yang pada awalnya bercita-cita baik, tetapi pada akhirnya malah membentuk ruang vakum otoritas dalam Islam Sunni. ini adalah efek samping dari gerakan reformis-modernis, penganjuran ijtihad sebagai bentuk pembebasan diri dari madzhab-madzhab, dan kembali ke Al-Qur’an dan Hadis. Gerakan Salafi tiga besar ulama modernis ini akhirnya hanya membesar di sisi kanan, yang melahirkan tokoh-tokoh Islamis seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Quthub, Sa’id Hawwa, Mustafa As-Siba’i, lalu bercampur baur dengan gagasan-gagasan Wahabi hingga melahirkan orang-orang seperti Osama bin Laden dan para Thaliban di Afghanistan. Dari Hasan Al-Banna dan Quthub, gagasan-gagasan sisi kanan Salafi ini disuburkan dalam Ikhwanul Muslimin, dan kemudian diekspor ke Indonesia melalui pengajian-pengajian Usrah kampus, yang akhirnya berevolusi menjadi partai politik PKS.

Sisi kiri gerakan salafi yang diwariskan Muhammad ‘Abduh ini adalah gerakan-gerakan neo-modernis (yang menurut saya adalah ahli waris paling absah dari gerakan pembaruan Islam dari garis Muhammad 'Abduh) yang diwakili oleh almarhum Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, dan Dr. M. Syafi’i Anwar (salah satu korban insiden 1 juni 08 di Monas) di Indonesia. Sementara di Timur Tengah dan India diwakili oleh Muhammad Khalafallah, Amin Al-Khuli, Sayyid Mahmud Al-Qimny, Muhammad Al-Ghazali, Fazlur Rahman, Al-Faruqi, Nashr Hamid Abu Zaid, dan Hassan Hanafi. Sisi kiri Salafi ini juga dibombardir dengan tuduhan sesat sejak dulu oleh kaum Wahabi dan “saudara kandung”nya di sisi kanan Salafi.

***
Kalau kita mengikuti alur berfikir kelompok islamis dan neo-fundamentalis yang memandang Ahmadiyah sesat, maka dimana pola fikir penyesatan ini akan berakhir? Ini akan berakhir dalam konflik horizontal ketika satu kelompok mengklaim mereka adalah pengikut Qur’an-Sunnah yang sebenarnya (dalam versi Wahabi-Salafi, karena dua kelompok inilah yang mengeksploitasi pendekatan harfiyah terhadap Qur’an-Sunnah dan selalu berkata “di dalam Islam..”, “menurut Islam....”, “Islam berkata...” sehingga siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka menjadi otomatis berada di luar Islam), sementara yang lainnya adalah kelompok sesat atau minimal bid’ah.

Dalam sebuah fatwa para ulama Islam Wahabi di Saudi Arabia yang dikeluarkan pada tahun 1991 ( jilid 3: halaman 344) oleh al-Lajnah al-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Ifta’ dinyatakan bahwa Syaikh Sayyid ‘Abdul Qadir al-Jailani (pendiri thariqat Qadiriyah yang diamalkan oleh banyak ulama Nahdlatul ‘Ulama dan juga ulama Islam tradisionalis lain di Indonesia, Malaysia, dan Thailand Selatan) dan Syah Waliyullah Ad-Dihlawi (ulama reformer di India) adalah kafir dan musyrik.

Para ulama fiqih (sebagian besar mereka juga mufassir Al-Qur’an) yang juga dituduh kafir dan sesat oleh pendiri Wahabi (Ibn Abdul Wahhab) sendiri antara lain adalah Fakhruddin ar-Razi (wafat 606H/1210M), Abu Sa’id al-Baydhawi (wafat 710H/1310M), Abu Hayyan al-Gharnati (wafat 745H/1344M), al-Khazin (wafat 741H/1341M), Muhammad al-Balkhi (wafat 830H/1426M), Shihabuddin al-Qastalani (w.923/1517M), Abu Sa’ud al-‘Imadi (w. 982H/1574M), dan masih banyak lagi.

Dalam logika berfikir penyesatan kelompok lain ini, maka pada akhirnya kelompok sesat dan bid’ah ini tidak hanya Ahmadiyah (perlu diingat bahwa ada tidaknya nabi yang tidak membawa risalah setelah Nabi Muhammad adalah problem khilafiyah dalam filsafat Islam, dan Tasawuf falsafi. Tidak lebih parah dari problem khilafiyah dalam filsafat Islam tentang Tuhan hanya mengetahui yang partikular seperti dikatakan Ibnu Rusyd, dan Tuhan mengetahui segala-galanya seperti yang dikatakan Al-Ghazali, atau perkataan Ana al-Haqq oleh Al-Hallaj, dan para Wali itu lebih utama dari pada para Nabi seperti yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi), tetapi terentang mulai dari Islam Syi’ah; pengikut thariqat-thariqat sufi yang hobi zikir dan sholawat beraneka macam; ulama nahdliyyin yang masih tabarrukan, ziarah ke kuburan waliyullah, dan mengamalkan talqin dan tawassul; aktivis Jaringan Islam Liberal; pemikir Islam yang mencoba mengaplikasikan gagasan-gagasan rasional filsafat barat ke dalam kajian Islam; ulama fiqih madzhab (dengan nalar ushul fiqih tradisionalnya) yang mencoba mengkritik gagasan kaum fundamentalis yang selalu berkata “menurut Islam..”; cendekiawan Islam Sunni yang mengadopsi pemikiran Abdul Karim Soroush dan Mohsen Kadivar yang Syi’i, aktivis religius sinkretik yang memadukan zikir naqsyabandi dengan reiki, kundalini dan yoga; ...... saya yang menulis artikel ini dan juga Anda yang menyetujui.

***

Sebelum dikuasai aliansi klan Sa’ud-Wahabi, Kota Makkah-Madinah adalah lokus intelektual dan spiritual Islam paling kaya. Semua representasi Madzhab Fiqih ada di sini. Para Fuqaha Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Syi’ah Jakfari, Zhahiri dan cabang-cabang di bawahnya menyambut para jamaahnya masing-masing di setiap musim haji. Seluruh Thariqat sufi juga memiliki mursyidnya di Mekkah – Madinah. Qadiriyah, Rifa’iyyah, Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Syistiyyah, Sammaniyah dan lain sebagainya. Dari Thariqah yang mu’tabarah hingga yang ghairu ma’tabarah. Sekarang ini semua tinggal kenangan.

Para Ulama Islam tradisionalis yang memiliki keterikatan dengan akumulasi khazanah tradisi pemikiran Islam sebenarnya mirip dengan kaum intelektual Barat yang memiliki keterikatan dengan tradisi pemikiran masa lalu Barat, keterikatan yang malah lebih dalam, koheren, dan integral. Kita bisa melihat dalam tradisi filsafat Barat, dari para pemikir skolastik ke Rene Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Hegel, Edmund Husserl, hingga filsuf eksistensialis, adanya dialog filosofis yang masih tetap berlanjut. Kitab-kitab filsafat kuno masih tetap dibaca, sebagian besar istilah teknis masih dipakai, bahkan dalam konteksnya yang telah ditransformasikan. Hal ini tidak berbeda dengan para ulama fiqih tradisionalis yang lebih dahulu membuka kitab fiqih Tuhfatul Muhtaj karangan Ibnu Hajar al-Haitami, kitab-kitab Qawaid Fiqhiyyah, dan Kitab Ushul Fiqih Al-Mushtasfa karangan Al-Ghazali untuk menjawab masalah kontemporer, ketimbang mencomot satu dua ayat Al-Qur’an, plus hadis, lalu berkata “... menurut Islam, ....” dengan semangat kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis seperti yang kerap dilakukan kaum Neo-fundamentalis dan Islamis.

Sekarang Madzhab Hanafi telah punah dari Hijaz. Sejak tahun 1925 para ulama Madzhab Syafi’i dilarang mengimami shalat di Masjidil Haram di Makkah. Begitu juga halnya dengan Madzhab Maliki. Seorang ulama besar Madzhab Maliki, Sayed Muhammad Alwi Al-Maliki juga dilarang memberi khutbah di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi di Madinah. Padahal lebih dari 1000 tahun secara turun temurun para ulama madzhab Maliki menjadi identik dengan Madinah. Sayed Muhammad Alwi Al Maliki dituduh oleh Wahabi sebagai seorang sufi, sesat dan murtad. Apalagi Madzhab Syi’ah, di bawah penguasa Wahabi Saudi mereka mengalami penghancuran karakter secara sistematis. Thariqat-thariqat Shufi? Mereka semua dianggap sesat, kafir, dan murtad. Yang berhak menyandang nama Islam hanyalah Wahabi. Madzab Hanbali dan Ibnu Taimiyah? Itu boleh, sebatas masih terakomodasi dalam batas-batas akidah Wahabi. Kitab Majmu’ Fatwa karangan Ibnu Taimiyah sendiri pun telah mengalami penyuntingan agar sesuai dengan akidah Wahabi, beberapa bab yang tidak sesuai dengan akidah Wahabi, dihilangkan dalam edisi terbitan kitab itu di Saudi Arabia.

Pola inilah yang telah dan sedang diekspor oleh Wahabi-Salafi (Neo Fundamentalis-Islamis) melalui agen-agennya ke seluruh dunia.

Masihkah kita berdiri menjadi makmum di belakang kelompok ini sambil menuding Ahmadiyah sesat, lalu setelah itu kelompok B, C, juga dituding sesat lalu kita sendiri juga dihadapkan pada dua pilihan menjadi Wahabi-Salafi atau menjadi kelompok sesat...

Wallahu A’lam bishshawab.

Wednesday, March 16, 2005

ketika para koki digusur tukang sayur dan tukang sayur pun menjadi koki

Sewaktu menghadiri shalat Jumat, saya sering mendengar khatib berkata: “sebagai umat Islam kita harus menuruti dan menjalankan apa-apa yang diperintahkan dalam Alquran, dan menjauhi apa-apa yang dilarang di dalam Alquran agar kita menjadi orang-orang yang bertakwa…” Ucapan ini memang mudah diucapkan, dan terkesan mudah pula dilakukan (bagi yang mau melakukan). Ketika kesekian kalinya saya mendengar ucapan ini, saya menjadi teringat satu problema dalam ilmu fiqih yang diangkat pertama kali oleh Imam Al-Syafi’i (w. 204 H/820 M) dalam kitabnya Al-Risalah. Berikut ini adalah kisahnya (biar menarik dibaca, kisah ini tidak lagi seharfiah redaksi aslinya) :

“Suatu ketika seorang laki-laki berangkat ke pasar. Ia berniat membeli budak. Ia kemudian membeli budak perempuan. Setelah budak itu menjadi miliknya, dan tinggal di rumahnya, ia pun berkali-kali melakukan hubungan seksual dengan budak perempuan itu.

[Karena perbudakan sekarang menjadi sesuatu yang emoh untuk difikirkan, saya akan menjelaskan sedikit: di dalam fiqih Islam hubungan seksual antara laki-laki pemilik budak dengan budak perempuan tidak dilarang. Tidak ada akad nikah, pemberian mas kawin, atau prosesi apa pun sebelum hubungan seksual itu berlangsung. Jika budak perempuan itu hamil dan melahirkan anak, maka anak itu statusnya tetap budak, tetapi ibunya naik status sedikit menjadi ummu walad, tetapi masih tetap budak. ]

Setelah beberapa lama, si laki-laki menjadi tahu bahwa budak yang dibelinya ini adalah saudara perempuannya. Nah lho... Besar kemungkinan si laki-laki adalah mantan budak yang kini merdeka dan menjadi berkecukupan, dulu orangtuanya juga budak, saudara-saudarinya pun budak. Atau bisa jadi, budak perempuan ini seayah dengannya tapi lain ibu, dan karena berbagai hal yang tragis, si adik perempuan pun akhirnya menjadi budak dan diperjualbelikan. Terus jadi gimana masalah ini?
Kita lihat pokok masalahnya .....

Si laki-laki membeli budak perempuan dan kemudian melakukan hubungan seksual dengan budaknya itu. Keadaan ini dibolehkan oleh Alquran, malah dianggap baik-baik saja. Hasanah bi dzatiha. Alquran di dalam Surah Al Mukminun ayat 5 membolehkan perilaku seperti ini:

qad aflaha’l mu’minun
alladzina hum fi shalatihim khasyi’un
walladzinahum ’ani’l laghwi mu’ridhun
walladzinahum lizzakati fa’ilun
walladzinahum li furujihim hafizhun
illa ’ala ajwazihim aw ma malakat aymanuhum, fainnahum ghairu malumin
(Alquran Surah Al Mu’minun 1 – 5)

[sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman
yaitu orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya
dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna
dan orang-orang yang menunaikan zakat
dan orang-orang yang menjaga penisnya
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak perempuan yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela ]

Ketika lama kemudian si laki-laki menjadi tahu bahwa budak perempuan itu adalah adiknya, maka hubungan ini menjadi incest, dan sangat dilarang. Qabihah bi dzatiha. Haram tanpa kompromi, karena Alquran dalam Surah An-Nisa ayat 23 melarangnya:

Hurrimat ’alaikum ummahatukum, wa banatukum, wa akhawatukum, ....
(diharamkan bagi kamu sekalian untuk menikahi ibu-ibumu [maksudnya ibu kandung terus ke nenek terus ke atasnya nenek], anak-anak perempuanmu [anak terus ke cucu dan seterusnya], dan saudara-saudara perempuanmu ......... dst.)

Dalam kasus di atas, si perempuan adalah saudarinya dan sekaligus budaknya. Kebolehan melakukan hubungan seksual dengan budak yang ditetapkan dalam Surah Al Mu’minun ayat 1-5 menjadi tidak relevan. Surah An-Nisa ayat 23 harus dimenangkan. Kenapa harus dimenangkan? Bisa jadi hati nurani dan akal sehat si laki-laki yang berkata demikian. Atau bisa juga sebuah fatwa dari seorang ahli fiqih yang mengangkat dua kaidah fiqih seperti: dar`u’l mafasidi awla min jalbi’l mashalihi (menghilangkan keburukan lebih utama dari memperoleh kemaslahatan) dan fa idza ta’aradha mafsadatun wa mashlahatun quddima daf’ul mafsadati ghaliban (apabila bertemu keburukan dan kebaikan dalam satu masalah, maka utamakanlah menghilangkan keburukan).

Kaidah-kaidah fikih di atas saya kutip dari kitab berjudul al-Asybah wa'l-Nazhair karya Ibnu Nujaim (w. 970 H/ 1562 M). Kaidah-kaidah ini adalah hasil penalaran hukum para fuqaha dari berbagai dalil seperti Alquran, hadis Nabi Muhammad, fatwa-fatwa para mujtahid besar, dan hal-hal lain. Jika pun kaidah-kaidah ini dilepaskan dari sumber-sumber religius, sifatnya tetap rasional, karena dalam banyak kasus, bunyi kaidah-kaidah fiqih menjadi sama dengan maxim hukum berbahasa Latin yang berasal dari penalaran rasional, contohnya seperti al-hukmu yaduru ma’a ‘ilatihi wujudan wa ‘adaman (hukum itu akan terus berlaku bila reason-nya masih terus ditemukan dan berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika reason-nya tidak ada lagi) yang sama dengan mutata legis ratione mutatur et lex (the law is changed if the reason of law is changed).

Saya mengangkat kisah di atas agar kita memikirkan kembali bahwa Alquran dan hadis sesungguhnya adalah bahan mentah. Seorang ahli fiqih dapat diibaratkan seorang chef (koki profesional) yang mengolah bahan-bahan mentah tersebut. Kitab-kitab fiqih klasik yang ditulis oleh para fuqaha di masa lalu dapat diibaratkan dengan kumpulan resep-resep masakan yang telah mengolah banyak bahan mentah menjadi masakan yang lezat. Membuang semua resep-resep itu tidak menjamin hasil kerja koki di zaman sekarang lebih baik dari yang dihasilkan para koki di masa lalu.

Para fuqaha klasik dan kitab-kitab fiqih yang mereka hasilkan adalah pilar terakhir rasionalitas di dalam tradisi pemikiran Islam, setelah filsafat dan ilmu kalam. Tradisi fiqih adalah tradisi rasional, karena peran akal sehat menjadi sangat menonjol ketika berhadapan dengan dalil-dalil yang berbenturan dan ambigu. Kini pilar terakhir ini semakin lama semakin lenyap, perlahan-lahan hilang ditengah menjamurnya para ”koki” tanpa resep. Para ”koki” yang pada hakikatnya hanyalah ”tukang sayur”. Para "tukang sayur" ini memang mengetahui beragam jenis sayur mayur, ikan, dan bawang, tetapi tidak pernah belajar menjadi ”koki” dan menganggap tidak ada gunanya mempelajari apa yang ditulis oleh para 'koki". Kini mereka menggusur para ”koki”, dan mulai menyajikan bahan-bahan mentah tanpa diolah untuk sarapan hingga makan malam.

Para "koki" di masa lalu memang menghasilkan banyak perbedaan resep masakan, dan beberapa "chef" membentuk aliran cara memasak yang menjadi mazhab para "koki" yang hidup di era selanjutnya. tetapi para "tukang sayur" di masa kini gerah dengan banyaknya mazhab para koki di masa lalu, mereka lalu memaksakan makanan yang orisinal, tunggal tanpa perbedaan cara memasak, sesuatu yang otentik tanpa perubahan, tanpa perlu dimasak.

Para ”tukang sayur” ini bisa ditemukan di banyak tempat, dan runyamnya lagi para "tukang sayur" ini sekarang semakin banyak di Indonesia. Di Saudi Arabia para "tukang sayur" ini berkumpul di al-Lajnah al-Daimah li’l-Buhuts al-’Ilmiyyah wa’l ifta’ (The Permanent Council for Scientific Research and Legal Opinions), namanya aja yang wah..

Di Lajnah ini berkumpullah pemuka-pemuka Islam Wahabi, seperti 'Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (1911-1999), sampai meninggalnya ia adalah mufti agung Kerajaan Saudi Arabia. Muhammad bin Shalih bin 'Utsaimin (1927 - .... ). Abdullah bin Jibrin (1930 - .... ); dan Shalih bin Fauzan yang juga memimpin al-Ma'had al-'Ali li'l Qudah (Supreme Judicial Council).

Sekarang coba kita perhatikan beberapa hasil fatwa kaum Wahabi ini :

PERTANYAAN 1
Saya ingin mengirimkan foto saya kepada istri, keluarga, dan teman-teman saya, karena sekarang saya berada di luar negeri. Apakah hal ini dibolehkan?

JAWABAN (oleh komite ulama Lajnah dalam Fatawa al- Lajnah)
Nabi Muhammad di dalam hadisnya yang sahih telah melarang membuat gambar setiap makhluk yang bernyawa, baik manusia atau pun hewan. Oleh karena itu Anda tidak boleh mengirimkan foto diri Anda kepada istri Anda atau siapa pun.

PERTANYAAN 2
Apakah hukumnya jika seorang perempuan mengenakan beha (kutang atau bra) ?

JAWABAN (oleh Abdullah bin Jibrin dalam Fatawa al- Lajnah)
Banyak perempuan yang memakai beha untuk mengangkat payudara mereka supaya mereka terlihat menarik dan lebih muda seperti seorang gadis. Memakai beha untuk tujuan ini hukumnya haram. Jika beha dipakai untuk mencegah rusaknya payudara maka ini dibolehkan, tetapi hanya sesuai kebutuhan saja.

PERTANYAAN 3
Apakah hukumnya Saudi Arabia membantu Amerika Serikat dan Inggris untuk berperang melawan Irak? (ini kasus Perang Teluk pertama sewaktu Bush senior jadi Presiden Amerika Serikat)

JAWABAN
Hukumnya adalah boleh (mubah). Alasannya karena (1) Saddam Husein telah menjadi kafir, jadi Saudi Arabia memerangi orang kafir dan bukan seorang Muslim (2) Mencari bantuan dari Amerika Serikat dan Inggris adalah suatu hal yang mendesak (dharurah) (3) Tentara Amerika sama statusnya dengan tenaga kerja yang dibayar. Tentara Amerika bukanlah aliansi kita, tetapi kita mempekerjakan mereka untuk berada di pihak umat Islam untuk berperang melawan orang kafir (yaitu Saddam Hussein).

Tampaknya Lajnah ini mengurus banyak hal, dari beha hingga perang teluk. Yang menyedihkan adalah fatwa-fatwa itu tampak berasal dari kondisi absennya rasionalitas yang cukup akut. Lenyapnya akal sehat untuk jangka waktu yang cukup lama. Fatwa-fatwa di atas juga tidak menunjukkan adanya koherensi, tidak terlihat dipakainya metode penetapan hukum yang dikembangkan para fuqaha klasik, tidak ada pula pendekatan melalui kaidah-kaidah fikih, dan tidak ada usul fikih. Yang tersisa hanyalah wacana hukum yang otoritarian.

Pada tahun 1990-an dulu, K.H. Ali Yafie yang benar-benar memahami fikih, seorang "koki" dengan banyak jam terbang, mengangkat kaidah fikih: idza ta’aradha mafsadatani ru’iya a’zhamuhuma dhararan bi irtikabi akhaffihima (apabila bertemu dua keburukan, maka pertimbangkan mana yang paling besar dampak keburukannya, lalu pilihlah yang dampak keburukannya lebih kecil).

Kaidah fikih di atas ia jadikan justifikasi ketika ia berpendapat bahwa lokalisasi bagi para pekerja seks komersial (psk) lebih baik daripada membiarkan mereka mencari pelanggannya di mana-mana. Karena memang belum ada hukum yang jelas melarang prostitusi, dan prostitusi tampaknya tidak bisa dihentikan sebelum perekonomian, kesempatan pendidikan, dan kesempatan kerja menjadi lebih baik. Apa yang terjadi kemudian? K.H. Ali Yafie dengan segera dihujat dan dikecam oleh banyak ”tukang sayur”. Ia dituding sebagai kiai sesat, dan bermacam-macam julukan negatif lainnya. Padahal setahu saya, KH. Ali Yafie adalah sosok ulama sederhana yang berfikir dan bernalar dari sudut pandang ilmu fiqih.

Di Jakarta, saya pernah menghadiri ceramah seorang penceramah kondang yang sudah dianggap ulama oleh yang menganggap (mungkin tidak etis jika saya menyebut nama ”tukang sayur” ini). Di akhir ceramah, ada yang bertanya: ”Pak Ustadz, apakah hukumnya meng-qadha shalat”? (meng-qadha shalat adalah melakukan shalat fardhu sebagai ganti dari shalat fardhu yang tidak dilakukan pada suatu waktu). Pak Ustadz ini dengan yakin dan berwibawa langsung menjawab: ”di dalam Islam tidak ada yang namanya qadha shalat.” Jawaban yang luar biasa, karena setahu saya empat mazhab fiqih utama (Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah) membolehkan qadha shalat kecuali mazhab Zahiriyah yang minoritas. Tapi sebenarnya bagi saya yang paling menarik adalah kata-kata "di dalam Islam......" Ini adalah jawaban standar para "tukang sayur". Dalam kitab-kitab fiqih klasik tidak pernah tertulis jawaban "di dalam Islam....." atau "menurut Islam....", yang ada hanyalah "di dalam mazhab Syafi'i..." atau "menurut pendapat yang berlaku di kalangan mazhab Hanafi....". Para fuqaha klasik ini rendah hati, mereka tidak pernah mengklaim. Tapi para "tukang sayur" ini benar-benar arogan. Ketika ia menyatakan "di dalam Islam..." atau "menurut Islam..." maka secara tidak langsung ia telah menggusur setiap narasi atau siapa saja yang tidak sependapat dengan dia dari ruang lingkup Islam." Menggusur... seperti Sutiyoso saja. Bayangin aja empat mazhab fikih besar koq digusur sehingga sekarang berada di luar Islam.

Ketika isu penolakan presiden perempuan menghangat, saya sempat dijadikan obyek indoktrinasi oleh seorang ”tukang sayur”. Ia berasal dari perkumpulan ’Jama’ah Tabligh’. (menurut seorang teman, cara dakwah door to door Jama’ah Tabligh ini mirip dengan ’Saksi Jehova’ dalam Kristen Protestan. Saya pikir asyik juga kalau bisa mempertemukan antara Jama’ah Tabligh dan Saksi Jehova, biar mereka saling mendakwahi, saling menggembalai. Minimal kalau difilmkan dengan kamera video digital bisa menang di Festival Film Indie di MTV).

"tukang sayur" dari Jama'ah Tabligh ini dengan segera mencecar saya, berikut dialognya, huruf kapital menandakan perkataan dari "tukang sayur".

”ANDA MUSLIM KAN, ANDA SETUJU KALAU PEREMPUAN JADI PRESIDEN?”

"setuju saja, asal dia mampu, memang kenapa?"

"LHO, ANDA INI GIMANA, ISLAM MENGHARAMKAN PRESIDEN PEREMPUAN.."

"kok Anda tahu Islam mengharamkan presiden perempuan?"

"ADA HADISNYA. NABI MUHAMMAD MELARANG PEMIMPIN PEREMPUAN, KALAU PEREMPUAN JADI PEMIMPIN MAKA RUSAKLAH NEGARA."

"Oo.. begitu ya. Jadi menurut Bapak bagaimana cara kita menjalankan hadis Nabi secara benar?"

"HARUS APA ADANYA, GIMANA DI DALAM HADIS YA YANG BEGITU ITU KITA JALANKAN, SAMI'NA WA ATHA'NA. SAYA DENGAR SAYA TAAT. GAK BOLEH DIUBAH-UBAH, JANGAN DI BOLAK-BALIK MAKNANYA!"

"oo.. jadi harus apa adanya?"

"IYALAH!"

"Bapak pernah tau gak ada hadis yang sama sahihnya dengan hadis pelarangan pemimpin perempuan?"

"APA TUH?"

"al-aimmah minal Quraisy, pemimpin itu haruslah berasal dari Suku Quraisy. Kalau menurut hadis ini hanya orang Arab dari suku Quraisy yang boleh jadi presiden. Laki-laki pun kalau bukan Suku Quraisy gak boleh jadi presiden di Indonesia Pak.. Kita harus impor dari Arab."

"YAAH, SITUASINYA KAN UDAH BEDA, KITA HARUS LIHAT KEADAANNYA SEKARANG DONG.."

"tapi tadi bapak bilang hadis harus dijalankan apa adanya, gak boleh dibolak-balik pemahamannya?"

"...?!?!"



Tahun 1999, di kampus IPB Bogor, dalam suatu kesempatan saya pernah iseng-iseng menghadiri tabligh akbar organisasi Hizbut Tahrir. Organisasi ”tukang sayur” internasional yang radikal. Salah seorang penceramah dengan gagah perkasa mengatakan ”nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam.” Para hadirin yang hampir semuanya adalah mahasiswa-mahasiswi IPB Bogor serentak merespons dengan teriakan ”Allahu Akbar”. Luar biasa, mahasiswa-mahasiswi sebuah institut negeri yang bergengsi dengan gampang diindoktrinasi dan dicuci otak oleh komplotan ”tukang sayur”. Hebatnya lagi "tukang sayur" itu tidak mengangkat dalil apa pun ketika ia mengatakan nation state, demokrasi, dan hak-hak azasi manusia bertentangan dengan Islam, ia tidak mengutip Alquran dan hadis seperti lazimnya "tukang sayur profesional". Tampaknya ada spesies baru "tukang sayur" di IPB Bogor ini, spesies yang paling memprihatinkan.

Ketika acara di IPB itu selesai, saya keluar dari ruangan itu. Saya perhatikan mahasiswa IPB yang rata-rata berjenggot, memakai celana gantung (di atas mata kaki), yang mahasiswi terbungkus jilbab rapat, ada juga yang bercadar. Sebagian mereka memegang buku-buku. Saya melirik melihat judulnya, ada Statistik, Ekonomi Pertanian, Teori Ekonomi Mikro, Ekonomi Pembangunan, Ilmu Kimia, dan banyak lagi. Semuanya ilmu-ilmu yang dibangun di atas rasionalitas dan dipahami secara rasional. Tetapi dimana mereka menitipkan rasionalitas ketika menghadiri indoktrinasi para "tukang sayur" di ruangan tadi?

Para ”tukang sayur” dengan kemampuan retorika yang luar biasa akhirnya memang meraih banyak pendengar dan pengikut, lambat laun para ”tukang sayur” ini tampaknya akan menang perang dalam menggusur para ”koki”.

Saya jadi teringat sebuah hadis Nabi Muhammad yang pernah saya dengar di pesantren dulu (tapi sayangnya saya lupa redaksinya dan sampai sekarang belum ketemu perawinya), kurang lebih hadis itu artinya begini: "akan datang suatu zaman bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali pendakwah, dan sedikit ulama."

Hadis di atas itu sekarang saya pahami menjadi "akan datang suatu zaman bagi umatku dimana pada masa itu banyak sekali 'tukang sayur', dan sedikit sekali 'koki'."


wallahu a'lam bi'l shawab.

Thursday, March 10, 2005

yang simbolik, yang religius, yang politis, yang ideologis, & yang tragis dalam pakaian

Anne Sofie Roald adalah associate professor di International Migration and Ethnic Relations (IMER) di Malmo University, Swedia. Ia seorang ilmuwan sosial berdarah Norwegia yang mengalami konversi menjadi seorang muslimah dan mengenakan jilbab, dan sepanjang mengenakan jilbab ia menerima berbagai reaksi dari orang-orang di sekelilingnya, dari reaksi positif hingga negatif. Ada satu bab dalam bukunya Women in Islam: The Western Experience (2002: 254) yang khusus membahas jilbab. Ia menamakan bab itu dengan Islamic female dress.

Dalam konteks Barat (Eropa), menurut Anne, jilbab (hijab, khimar, veil, atau banyak lagi namanya) memiliki beragam konotasi. Kain penutup kepala yang dikenakan seorang biarawati Katolik (yang tentu saja sangat mirip dengan jilbab) kerap dipandang sebagai simbol atau citra religiositas, sesuatu yang dekat dengan Tuhan, kesucian, dan kedamaian. Kain penutup kepala yang dikenakan oleh seorang muslimah dipandang sebagai simbol penindasan terhadap perempuan, dan kalau tidak demikian maka dilihat sebagai pernyataan religius-politik yang dekat dengan penegasan identitas, ideologis sifatnya. Menurut Anne, hal ini terjadi karena jilbab yang dipakai seorang biarawati Katolik adalah perwujudan dari komitmen terhadap tradisi keberagamaan yang telah hidup sejak lama di Eropa. Biarawati adalah wong kito atau koncone dewe bagi masyarakat Eropa. Di sisi lain, menurut Anne, jilbab perempuan muslim adalah simbol invasi kepercayaan asing, invasi dari sesuatu yang tak akrab, aneh, dan lain, yang bertentangan dengan tradisi keberagamaan yang telah hidup sejak lama di Eropa. Pakaian yang sama tetapi memiliki image yang berbeda, yang religius versus yang ideologis.

yang ideologis dan yang politis

Di Iran, yang ideologis dan yang politis dalam pakaian perempuan terjadi secara berkesinambungan. Sami Zubaida menulis tentang hal tersebut dalam bukunya Law and Power in the Islamic World. Pada tahun 1928, Permaisuri dari Reza Khan (1877-1944. Reza Khan adalah Syah Iran, ayah Reza Pahlevi yang dilengserkeprabonkan oleh Mbah Khomeini) mengunjungi tempat ziarah di kota suci Qum di Iran. Sewaktu doa-doa dan zikir sedang dilantunkan, permaisuri tampak tetap tidak memakai jilbab. Dia berpakaian seperti pakaian perempuan modern Eropa pada waktu itu. Hal ini mengusik pikiran seorang ayatullah, namanya Ayatullah Bafqi, ia lalu mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan kepada sang permaisuri: "jika Anda bukan seorang Muslimah, kenapa Anda datang ke tempat suci ini? Jika Anda seorang muslimah kenapa Anda tidak memakai jilbab?" Tapi sang permaisuri cuek bebek aja. Ayatullah Bafqi tampak kesal. Ketika Ayatullah Bafqi menyampaikan khutbahnya, ia mulai mengkritik Syah Iran, dan memprovokasi para hadirin. Syah Iran akhirnya mengetahui insiden ini. Syah Iran pun marah. Ia lalu datang ke kota suci Qum. Bersama pengawalnya ia masuk ke tempat ziarah dengan tidak membuka sepatu boot. Ia mencari Ayatullah Bafqi, sewaktu ketemu, sang ayatullah pun dihajar habis, dan kemudian dipenjarakan. Selang beberapa lama kemudian, Syah Iran menerapkan hukum uniformity of dress yang melarang perempuan memakai jilbab, dan laki-laki memakai surban (dispensasi hanya diberikan untuk para ayatullah). Polisi pun dikerahkan untuk menerapkan hukum ini. Jika ada yang memakai jilbab di jalan-jalan, atau ada yang pakai surban tapi yang bersangkutan bukan ayatullah, maka polisi berhak untuk membuka pakaian itu secara paksa.

Tahun berganti tahun, akhirnya revolusi Iran terjadi (menurut para intelektual sekular Iran, revolusi Iran awalnya digerakkan oleh para intelektual sekular seperti Ali Syari'ati cs. Tapi kemudian revolusi ini dibajak oleh para ayatullah dan mullah karena mereka lebih populis dan memiliki massa, sehingga akhirnya menjadi revolusi Islam. Sewaktu revolusi terjadi, intelektual sekular dan para ayatullah punya musuh bersama yaitu Reza Pahlevi, Syah Iran terakhir. Tapi, ketika para ayatullah semakin berkuasa setelah Republik Islam berdiri dan berlanjut dengan aplikasi konsep wilayat al-faqih, maka para intelektual sekular pun disingkirkan). Pada tahun 80-an, Iran sudah menerapkan hukum syari'ah. Jilbab pun menjadi wajib. Ente kagak demen make jilbab? Hukum cambuk menanti, 75 kali cambukan. Tapi yang lebih dahsyat adalah Taliban, Rezim Taliban di Afghanistan bahkan mewajibkan perempuan menutup wajahnya, menyisakan sedikit lubang di mata untuk melihat dan hidung untuk bernafas.

Yang ideologis dan politis juga terjadi di Aceh. Ketika Syariat Islam mulai diberlakukan di Aceh pada tahun 1999, kaum perempuan yang pertama menjadi korban. Jilbab adalah yang paling pertama diingat oleh para pengusung Syariat Islam. Di kampus, terminal-terminal, jalan-jalan, pasar-pasar diadakan razia jilbab. Ibu-ibu yang harus ke sawah menjadi kebingungan, mereka harus pakai jilbab ke sawah. Ibu-ibu yang menjual sayur mayur di pasar pun terpaksa harus memakai jilbab. Saya pernah melihat, ada ibu-ibu yang terpaksa melilitkan kain sarung untuk menutupi kepalanya untuk menghindari razia, walau pun ia masih memakai rok sedengkul yang telah lusuh karena ia seharian harus mencari nafkah di pasar. Walaupun Aceh sudah berabad-abad menerima Islam, tapi tidak pernah terlihat kaum perempuan memakai jilbab yang rapat jika mereka ke sawah, atau ketika berjualan di pasar. Yang paling menyedihkan adalah di masa pasca tsunami, tidak berapa lama setelah tsunami, polisi syariat kembali melakukan razia jilbab.

yang tragis

Yang ideologis-politis dalam pakaian perempuan terkadang malah menjadi yang tragis. Yang tragis ini pernah terjadi di Mekkah. Pada pertengahan bulan Maret 2002, koran-koran Saudi Arabia (seperti Saudi Gazette dan Al-Iqtishadiyyah) melaporkan tentang kebakaran hebat yang melanda sebuah sekolah khusus perempuan. Kebakaran ini menyisakan tragedi yang sangat ironis dan tragis. Setidaknya 14 orang siswi sekolah itu tewas terbakar. Ketika para pemadam kebakaran hendak menerobos masuk ke sekolah itu, mereka dihalangi oleh Polisi Agama (dinamakan dengan mutawwa'un, tugas mereka adalah menjaga agar atauran-aturan Islam Wahabi dilaksanakan secara ketat oleh setiap warga Saudi) karena para siswi itu tidak mengenakan jilbab kalau mereka berada di dalam ruangan sekolah (karena sekolah itu adalah sekolah khusus perempuan, jadi jilbab tidak dipakai di dalam ruangan yang tidak ada laki-laki). Para siswi juga dilarang keluar sebelum mereka mengenakan jilbab secara tepat. Kepanikan terjadi, karena api semakin membesar. banyak siswi yang nekat untuk keluar walau tidak memakai jilbab, tapi mereka segera dihalau oleh polisi agama untuk kembali ke ruangan agar memakai jilbab, para siswi ini akhirnya ditemukan tewas (analisis menarik untuk kejadian ini bisa dibaca dalam tulisan Khaled Abou El Fadl, "The Ugly Modern and The Modern Ugly" dalam buku Progressive Muslims (2003) yang diedit oleh Omid Safi).

yang simbolis

“Ya ayyuha al-nabi qul li azwajika wa banatika wa nisa-i al-mu’minina yudnina ‘alaihinna min jalabibihinna dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzaina…...”
(Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu..…”)

Saya memahami anjuran Alquran tentang pemakaian jilbab dalam dalam ayat ke-59 dari Surah Al-Ahzab di atas sebagai sesuatu yang simbolis. Mengapa saya katakan sebagai sesuatu yang simbolis?

Ayat ke 59 dari Surah Al-Ahzab di atas diwahyukan kepada Nabi Muhammad antara tahun ketiga dan ketujuh hijrah, tahun-tahun ini adalah tahun kritis dalam komunitas masyarakat Muslim di Madinah, ketika situasi berada dalam suasana tidak aman karena perang yang berkepanjangan. Ayat ini diwahyukan sebagai respons atas gangguan yang dialami perempuan Muslim Madinah dari para pria yang menyangka mereka budak, karena pakaian yang dikenakan perempuan muslim dan budak perempuan tidak berbeda.

Ayat di atas diwahyukan setelah pewahyuan ayat ke-24 dari Surah An-Nur yang juga membicarakan masalah kerudung. Ayat ke-24 dari surah An-Nur itu sebagiannya tertulis: “wal yadhribna bi khumurihinna ‘ala juyubihinna” (dan hendaklah mereka menjulurkan khimar [kerudung] mereka ke juyubnya. Juyub adalah berarti belahan baju di bawah leher yang menampakkan dada pemakainya, fungsi utama kerudung yang dianjurkan dalam ayat ini adalah menutup belahan baju yang menampakkan payudara perempuan, bukan menutup rambut kepala.

Agar tidak rancu, sebaiknya saya menjelaskan perbedaan antara jilbab (jenis pakaian yang disebutkan dalam Alquran Surah Al-Ahzab ayat 59) dan khimar (jenis pakaian yang disebutkan dalam Alquran Surah An-Nur ayat 24). Jilbab itu sebenarnya merujuk ke jenis pakaian yang dipakai oleh perempuan Iran saat ini, jubah hitam panjang yang menutupi tubuh pemakainya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedangkan khimar adalah kerudung, di jazirah Arab khimar ini dipakai juga oleh laki-laki, dinamakan dengan serban atau ’amamah.

Dua ayat di atas telah memakai kata jilbab (lebih lebar dari khimar) dan khimar (kerudung), ini menandakan bahwa dua jenis pakaian ini telah lama dikenal di kawasan jazirah Arab. Alquran mengadopsi khimar untuk meningkatkan etika kesopanan berpakaian yaitu menutup payudara dengan kerudung, dan mengadopsi jilbab untuk melindungi perempuan muslim dari gangguan yang muncul karena mereka disangka sebagai budak perempuan. Kenapa harus khimar dan jilbab? Karena jenis pakaian itulah yang sudah dikenal dan kerap dipakai perempuan Arab pada masa pewahyuan Alquran. Menutup payudara adalah universal nilai etikanya, tetapi menutupnya dengan khimar yang juga sekaligus menutupi kepala bersifat lokal dan kontekstual. Menutupi seluruh tubuh dengan jilbab adalah lebih temporer lagi kegunaannya, hanya berguna ketika masyarakat masih terbelah ke dalam kelas budak dan bukan budak.

Ada baiknya kita mengetahui asbab al-nuzul (sebab-sebab diwahyukannya suatu ayat) dari ayat ke-59 dari surah Al-Ahzab di atas. Dalam kitabnya Jami’ al-Bayan (Beirut: Dar al-Fikr, 1408H/1988M, jilid XII, halaman 46-47) Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H) menyebutkan satu kejadian sebelum ayat itu diwahyukan:

Istri-istri Nabi Muhammad dan perempuan-perempuan lain apabila malam tiba keluar rumah untuk membuang hajat. Ada banyak laki-laki yang bergerombol di jalan-jalan untuk mengganggu perempuan. Maka Tuhan pun mewahyukan ayat: “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’..” lalu perempuan-perempuan itu menutupkan kepala dan tubuh mereka dengan jilbab, sehingga dapat dibedakan yang mana budak perempuan yang mana perempuan merdeka.

Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1993M, Jilid VI, halaman 659) menyatakan bahwa sebelum ayat ini diwahyukan, banyak laki-laki di Madinah yang mengikuti perempuan mukmin dan mengganggu mereka, jika laki-laki itu ditegur, maka mereka akan berkata: ‘saya kira dia budak perempuan’ maka Tuhan memerintahkan perempuan-perempuan mukmin untuk membedakan pakaian mereka dari pakaian budak, dan mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka.

Dua keterangan di atas bisa menjawab pertanyaan yang mungkin timbul ketika kita membaca kalimat dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzaina (yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu) dalam ayat di atas. Dikenali sebagai apa? Tidak diganggu karena apa?

Pada zaman Khalifah 'Umar bin Khattab (w. 644 M) pakaian perempuan masih tetap dipahami sebagai sesuatu yang simbolis. Sesuatu yang menjadi 'alamah (tanda atau simbol) pembeda antara perempuan merdeka dan budak perempuan (muslimah atau bukan). Ini terjadi karena masyarakatnya adalah masyarakat yang masih membedakan dengan jelas antara manusia merdeka dan manusia budak. Suatu ketika seorang budak perempuan mengenakan pakaian perempuan merdeka yang waktu itu disimbolkan dengan jilbab. 'Umar pun marah besar.

“Marrat bi ‘umar ibn al-khattab radhiyallahu ‘anhu jariyatan mutaqanniah fa’alaha bi al-durrah wa qala: ya laka’! Atatasyabbahina bi al-hara-ir? Alqi al-qina’!”.
(Seorang budak perempuan berkerudung yang memakainya hingga menutupi dadanya berjalan mendahului ‘Umar bin Khattab. ‘Umar berkata: “perempuan celaka! Apakah engkau ingin menyerupai perempuan merdeka? Buka kerudung itu!).

Peristiwa di atas dituliskan oleh Ibrahim bin ‘Umar al-Biqa’iy (w. 885 H) dalam karangannya Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar (Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1415/1995, jilid VI, halaman 136). Pelarangan Umar itu diungkapkan lebih eksplisit dalam kitab Al-Mughni (Mesir: Al-Manar, 1348, tashhih oleh Sayed Rasyid Ridha, jilid I, halaman 643) karangan Ibnu Qudamah (w.603H):

“Inna ‘umar ibn al-khattab kana la yad’u amah taqna’u fi khilafatihi wa qala innama al-qina’ lil hara-ir.”
(‘Umar bin Khattab tidak memberikan toleransi bagi budak perempuan untuk mengenakan kerudung di masa kekhalifahannya. ‘Umar berkata: ‘kerudung itu hanyalah bagi perempuan merdeka’.)

Mengapa Umar bin Khattab menyatakan “kerudung itu hanyalah bagi perempuan merdeka”? bukankah kerudung atau jilbab itu adalah busana muslimah sebagaimana yang kita dengar sekarang? Bagaimana dengan muslimah yang bukan perempuan merdeka alias budak?

Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, jilbab lebih dipandang sebagai pakaian penegas identitas, antara budak perempuan dan perempuan merdeka, walaupun budak itu sendiri seorang muslimah. Jilbab pada masa itu bukan dipandang sebagai busana muslimah sebagaimana dipropagandakan para ideolog Islamawiyah (Khaled Abou El Fadl menyebutnya dengan Salafabism. Islamawiyah ini adalah hasil persilangan yang tak diharapkan dari Salafiyah yang dipelopori oleh Muhammad 'Abduh dan Sayed Rasyid Ridha dengan Islam Wahabiyah yang didirikan oleh Ibn Abdul Wahab di Nejed yang kini jadi ideologi resmi di Saudi Arabia) pada zaman sekarang. Pada masa pemerintahannya Umar bin Khattab sangat keras melarang budak perempuan memakai penutup kepala atau jilbab, karena baginya pemakaian jilbab oleh budak perempuan akan mengaburkan identitas perempuan merdeka. Kenapa jilbab ini menjadi masalah yang krusial bagi Khalifah Umar sehingga ia melarang budak mengenakan jilbab walaupun ia seorang muslimah, bukankah jilbab adalah busana muslimah? Karena pada masa itu budak perempuan adalah obyek seksual bebas. Jika ia melahirkan anak, maka anak budak perempuan itu dapat dijual lagi sebagai budak, sehingga menguntungkan pemiliknya. Kalau tidak ada pakaian penegas identitas, bagaimana budak perempuan bisa dibedakan dari perempuan merdeka?

Keterangan yang lebih jelas mengenai kebijakan Umar itu dapat ditemui dalam kitab Al-Dzakhirah (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1994, tahqiq oleh Muhammad Hajji, jilid 2, halaman. 103) karangan Syihab al-Din Ahmad ibn Idris al-Qarafi (w. 1285M/684H) yang menyebutkan:

“Wa qad kana ‘Umar radhiyallahu anhu yamna’u al-ima’ min al-izar, wa qala li ibnihi alam ukhbir anna jariyataka kharajat fi al-izari wa tasyabbahat bi al-harair, wa law laqaituha la awja’tuha dharban. Ma’na nahi ‘Umara radhiyallahu ‘anhu al ima’ ‘an tasyabbihinna bil harair: anna al-sufaha’ jarrat ‘adatuhum bi al-ta’arrudh lil-ima’ duna al-harair, fa khasiya radhiyallahu ‘anhu an yaltabis al-amra fayata’arradha al-sufaha’ lil harair dzawat al-jalalah, fa takunu al-mufsidatu a’zham; wa hadza ma’na qawlihi ta’ala: dzalika adna an yu’rafna fala yu’dzaina, ay an yatamayyazna bi ‘alamatihinna ‘an ghairihinna!”

(“Sesungguhnya ‘Umar r.a melarang budak perempuan dari [mengenakan] izar (secara harfiah dapat berarti sarung yang menutupi badan, atau pun jilbab), dan ia berkata kepada anaknya: “tidakkah benar berita bahwa budak perempuanmu keluar rumah dengan memakai izar dan menyerupai perempuan merdeka, jika aku menjumpainya akan kupukul dia. Makna ‘Umar r.a melarang budak perempuan dari menyerupai perempuan merdeka adalah karena kaum berandalan tetap melakukan kebiasaan mereka dalam hal mengganggu budak perempuan dan tidak kepada perempuan merdeka, oleh karena itu ‘Umar r.a khawatir akan terjadi ketidakjelasan [dalam hal pembedaan simbol pakaian- pen.] sehingga kaum berandalan itu pun lalu mengganggu perempuan merdeka yang memiliki kemuliaan, maka akan terjadi mafsadah yang besar; dan inilah pengertian perkataan Tuhan: ‘yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu’, yaitu agar [perempuan merdeka] membedakan ‘alamat [karakteristik-karakteristik] mereka dari selain mereka!”).

Gangguan yang terkadang berujung kepada perkosaan terhadap budak perempuan kerap dilakukan di padang pasir pada malam hari oleh sekelompok laki-laki. Para pemerkosa ini menandai budak dan perempuan merdeka dari pakaian yang mereka kenakan, karena lazimnya budak perempuan hanya melilitkan kain yang menutupi pusat dan lutut, dan membiarkan payudaranya terbuka. Kalau perempuan itu mengenakan pakaian tertutup (jilbab) maka ia akan dikenali sebagai perempuan merdeka, dan tidak akan diganggu. Kondisi ini dicatat oleh seorang ulama tafsir bernama Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911H/1505M) dalam kitabnya Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur (Beirut: Dar al-Fikr, 1414H/1993M, jilid VI, halaman 661):

“Kana anas min fassaq ahl al-madinah bi al-layl hina yakhtalith al-zhulm, ya’tuna ila thuruq al-madinah fa yata’arradhuna li al-nisa’, wa kanat masakin ahl al-madinah dhayyiqah, fa idza kana al-layl kharaja al-nisa’ ila al-thuruq, fa yaqdhina hajatahunna, fa kana ulaika al-fassaq yattabi’una dzalika min hunna, fa idza ra-aw imraat ‘alaiha jilbab qalu: hadzihi hurrah fakaffu ‘anha, wa idza ra-aw al-mar-ah laysa ‘alaiha jilbab qalu: hadzihi amah fawatstsibu ‘alaiha.”

(Orang-orang fasik dari penduduk Madinah ketika petang menjelang gelap, datang ke jalan-jalan Madinah untuk mengganggu perempuan, [karena] rumah-rumah penduduk Madinah sempit, apabila malam perempuan-perempuan keluar ke jalan-jalan untuk membuang hajat, [dan] orang-orang fasik itu mengikuti mereka, jika mereka melihat perempuan berjilbab mereka berkata: ‘ini perempuan merdeka’ lalu mereka menghindar dari perempuan itu, apabila mereka melihat perempuan tanpa mengenakan jilbab, mereka berkata: ‘ini budak perempuan’ lalu mereka pun mengerubunginya.)

Dari paparan Al-Suyuthi di atas tampak bahwa para pemerkosa itu tidak berani mendekati perempuan berjilbab dan hanya berani mengganggu budak perempuan. Mengapa terjadi realitas seperti ini? Jelas ada aturan-aturan dan norma-norma tak tertulis yang mengisi benak mereka untuk mengatur bagaimana mereka menilai dan bertingkah laku terhadap perempuan berjilbab atau yang tidak. Bagaimana jika mereka tidak memperdulikan, walaupun perempuan itu memakai jilbab? Hal ini akan menimbulkan chaos karena bisa saja perempuan berjilbab yang mereka perkosa itu berasal dari qabilah terkemuka yang bisa membalaskan dendam dengan perang, atau pun di lain hari bisa saja anak perempuan atau istri mereka sendiri yang statusnya adalah perempuan merdeka diperkosa oleh orang lain. Tidak demikian halnya dengan budak perempuan, karena pada masa itu seorang budak tidak dipandang sebagai manusia, karena ia tidak berhak memiliki apa-apa, baik harta benda maupun hak asasi manusia.

Menghormati perempuan yang mengenakan jilbab telah menjadi norma dalam nalar kolektif kabilah-kabilah di jazirah Arab pada era pewahyuan Alquran atau bahkan jauh sebelumnya, karena jilbab sendiri telah lama dipakai di kawasan itu dan juga sebagian besar wilayah Mediterania terutama Persia oleh perempuan dari kelas terhormat ataupun dari kabilah-kabilah besar dan terpandang. Kalaulah norma penghormatan terhadap perempuan berjilbab itu tidak ada, maka anjuran Alquran agar perempuan muslimah (yang berstatus non-budak) untuk mengenakan jilbab agar mereka tidak lagi diganggu menjadi tidak ada gunanya, karena para pengganggu akan tetap mengganggu karena norma-norma penghormatan terhadap perempuan berjilbab belum pernah menjadi norma kolektif mereka.

Mengapa jilbab pada waktu itu dapat menjadi simbol bagi perempuan terhormat, dari mana asal usulnya sehingga Alquran mengadopsi jilbab untuk menjadi penanda terhormatnya perempuan-perempuan muslimah yang mengikuti hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah? Bisakah kita menemukan penjelasan tentang asal usul jilbab di masa pra-Islam? Tampaknya bisa. Ada satu penjelasan menarik yang dituliskan oleh Nasaruddin Umar (penulis buku Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Alquran, sebuah buku yang berasal dari disertasi doktornya di IAIN Jakarta) dalam tulisannya yang memiliki judul unik: Antropologi Jilbab. Tulisannya itu dimuat dalam jurnal Ulumul Qur’an. Jurnal pemikiran Islam yang kini sudah tidak terbit lagi karena kehabisan biaya.

Kalangan ahli antropologi berpendapat bahwa jilbab dan semacamnya bersumber dari apa yang menjadi tabu untuk dilakukan seorang perempuan ketika sedang menstruasi (menstrual taboo). Perempuan yang mengalami menstruasi diyakini berada dalam suasana tabu. Darah menstruasi (menstrual blood) dianggap darah tabu yang menuntut berbagai upacara dan perlakuan khusus. Menurut beberapa kepercayaan, seperti kepercayaan di dalam agama Yahudi, wanita menstruasi harus hidup dalam gubuk khusus (menstrual hut), gubuk yang dirancang sebagai tempat hunian perempuan yang sedang menstruasi. Di daerah yang mempunyai pegunungan, perempuan haid biasanya juga diasingkan di dalam goa-goa, seperti di sepanjang pegunungan Kaukasus. ...... agar terhindar dari pelanggaran menstrual taboo, wanita haid dituntut mengenakan identitas diri berupa kosmetik. Kosmetik disamping berfungsi sebagai sebagai isyarat tanda bahaya (signals of warning) terhadap orang lain, juga sebagai upaya untuk mencegah si mata iblis (evil eye/ chesm-e bad) masuk ke dalam tubuh yang bersangkutan. Itulah sebabnya alat-alat kosmetik diletakkan di daerah berlobang seperti: anting-anting dan giwang di telinga, hidung dan pusar; celak atau shadow di kening atau kelopak mata; lipstick di bibir; gigi emas atau perak; dan selempang di bagian kemaluan. Kepala adalah daerah paling rawan karena itu di bagian leher dilingkari dengan kalung. Tangan dan kaki paling sering bergerak dan menyentuh benda-benda lain, karena itu digunakan gelang dan cincin. Untuk lebih aman, disamping menggunakan alat-alat tersebut, wanita haid juga dituntut untuk mengenakan jilbab atau cadar, pakaian yang dapat menutup sekujur badan. Penggunaan berbagai jenis perhiasan dan kostum tersebut semula tidak dimaksudkan sebagai alat perhiasan kecantikan, tetapi semata-mata sebagai sarana penolak bala dan signal of warning bagi orang lain, itu pun hanya ketika sedang menstruasi...... Proses penggantian menstrual huts menjadi kerudung (menstrual hood) adalah hasil perjuangan perempuan bangsawan. Bagi mereka yang esensi bukan sembunyi di balik gubuk haid atau di goa-goa tetapi bagaimana mengamankan dan menjinakkan tatapan mata (menstrual gaza) dan mejaga berbagai pantangan, dan itu semua tidak mesti dilakukan di tempat khusus. Perempuan bangsawan kemudian mengenakan jilbab sebagai pengganti menstrual hut sambil mengenakan berbagai jenis kosmetik sebagai penolak bala. Belakangan perempuan non-bangsawan pun melakukan hal yang serupa dilakukan oleh perempuan bangsawan, sehingga gubuk haid berangsur-angsur hilang, jilbab dan kosmetik semakin populer. Belum ditemukan data pasti kapan proses peralihan itu terjadi, atau kapan jilbab mulai dikenal luas. Di setiap daerah mengalami proses perubahan masing-masing, yang jelas jauh sebelum agama Islam datang sudah ada institusi jilbab.
(”Antropologi Jilbab”, Ulumul Quran: Jurnal Ilmu dan Peradaban, no. 5, vol. VI, 1996, hal. 36-37)

Jilbab pra-Islam berasal dari keyakinan mitologis. Dalam keyakinan ini perempuan yang sedang menstruasi diyakini membawa bala bencana sehingga harus diasingkan di tempat khusus, atau harus menutup tubuhnya dengan jilbab dan cadar. Ketika Islam muncul, Alquran mengadopsi jilbab ini untuk tujuan yang sangat pragmatis, yaitu melindungi perempuan-perempuan (yang ikut dengan Nabi Muhammad untuk hijrah ke Madinah) dengan pakaian yang telah menjadi simbol perempuan bangsawan atau kalaupun bukan bangsawan tetapi merdeka (bukan budak) pada masa itu. Sesuatu yang simbolis.

Menurut Mostafa Hashem Sharif (”What is Hijab?”, The Muslim World, no. 3-4, July-October 1987), di kawasan Imperium Persia pra Islam, perempuan berstrata sosial tinggi disamping mengenakan jilbab juga ditutupi dari pandangan umum, jika bepergian mereka berada dalam kereta kuda yang bertirai. Perempuan aristokrat ini mulai mengenakan jilbab di ruang publik sejak Dinasti Hakhhamanesh, yang merupakan dinasti pertama yang memerintah setelah unifikasi berbagai kerajaan di kawasan Imperium Persia di tahun 500 SM.

Yang pertama kali mengatur jilbab di dalam hukum positif adalah Kerajaan Assyiria. (Assyria adalah kerajaan kuno di Timur Tengah, kira-kira terletak di kawasan Irak sekarang. Orang-orang Yunani kuno menyebut wilayah Assyria ini dengan Mesopotamia. Pada sekitar tahun 1813 – 1780 S.M. Kerajaan Assyria ini sudah menjadi imperium yang terorganisir secara sentral. Imperium Assyria ini diperkirakan kolaps sekitar tahun 600 S.M.) Dalam Hukum Assyria, menurut Leila Ahmed dalam bukunya Women and Gender in Islam (1992: 14), jilbab harus dikenakan oleh perempuan bangsawan. Budak perempuan dan para pelacur dilarang keras mengenakan jilbab. Jika kedapatan mengenakan jilbab mereka bisa dikenakan hukuman cambuk, disiram ter panas di kepala, atau kedua kupingnya dipotong. Di masa Assyria ini jilbab tampaknya juga dipakai sebagai simbol yang membedakan perempuan menurut aktivitas seksualnya. Analisis terhadap Hukum Assyria di atas dapat dibaca dalam buku karya Gerda Lerner, The Creation of Patriarchy.

Setelah Kerajaan Assyria kolaps, besar kemungkinan hukum jilbab itu berevolusi menjadi norma-norma yang berlaku meluas di jazirah Arab, atau bisa juga hukum itu diadopsi oleh kerajaan-kerajaan di sekitarnya, seperti Persia dan Bizantium. Norma-norma ini terus hidup hingga ke masa pewahyuan Alquran.

Pada era pasca pewahyuan Alquran pun, jilbab tetap menjadi simbol kelas. Para fuqaha pun memasukkan pembahasan mengenainya ke dalam kitab-kitab fiqih mereka. Para fuqaha klasik lebih memahami jilbab sebagai cara untuk membedakan budak perempuan dengan perempuan merdeka. Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah (dikutip dari buku Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah) berikut ini:

Wa'l hijabu mukhtasshun bi'l harairi duna'l ima-i, kama kanat sunnatul mu'minina fi zamaninnabiyyi wa khulafaihi anna'l hurratu tahtajibu wa'l amatu tabrizu.
(Hijab [jilbab] itu dikhususkan untuk perempuan merdeka, bukan untuk budak perempuan, sebagaimana sunnah orang-orang mukmin di zaman nabi dan khalifah-khalifahnya bahwa perempuan merdeka memakai hijab, sedangkan budak terbuka).

Kalaulah jilbab itu pakaian muslimah sebagaimana dipropagandakan oleh kalangan islamawiyyah (Islam fundamentalis), mengapa budak perempuan muslimah yang hendak mendirikan ibadah shalat cukup menutupi bagian tubuh antara pusat dan lutut, tidak perlu mengenakan jilbab (bahkan sekadar penutup payudaranya?), bukankah dia perempuan muslimah?

Seorang sahabat Nabi Muhammad bernama Abdullah Ibnu Abbas pernah mengatakan (dikutip dari kitab Al-Mudawwanah al-Kubra, Beirut: Dar Shadr, t.t., jilid I, halaman 94): “laysa ‘ala al-amah khimar fi al-shalat” (budak perempuan tidak memerlukan kerudung ketika menjalankan shalat). Seorang ahli fiqih bernama Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni (jilid I, halaman 643) juga menyatakan bahwa: “wa shalat al-amah maksyufah al-ra’s ja-izah la na’lam ahadan khalif fi hadza illa al-hasan.” (dibolehkan bagi budak perempuan untuk melaksanakan shalat dengan kepala terbuka. Saya tidak mengetahui adanya pendapat yang berbeda kecuali pendapatnya [Muhammad bin] al-Hasan [salah seorang murid Imam Hanafi, pen]).

Di dalam kitab Al-Mudawwanah al-Kubra (Beirut: Dar Shadr, t.t., jilid. I, halaman 94) disebutkan bahwa Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki menyatakan bahwa budak perempuan tidak perlu mengenakan kerudung atau jilbab ketika hendak menjalankan shalat: “wa qala Malik fi al-amah tushalli bi ghayri qina’ qala dzalika sunnatuha” (mengenai budak perempuan yang melaksanakan shalat tanpa mengenakan kerudung, Malik berkata itu aturan baginya).

Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi pernah mengatakan (saya mengutip perkataannya ini dari Ibnu Hazm dalam karangannya Al-Muhalla [Dar al-Fikr, t.t. jilid III, halaman 223], Ibnu Hazm mengutip pendapat Abu Hanifah ini untuk ia bantah, karena merupakan salah satu subyek ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam ilmu fiqih):

“Al-‘awrat takhtalif, fa hiya min al-rijal ma bayna al-surrah ila al-rukbah wa al-rukbah ‘awrat, wa surratu laysat ‘awrat. Wa hiya min al-hurrah jami’u jasadiha. Hasya al-wajhi wa al-kaffayni wa al-qadamayn. Wa hiya min al-amah ka al-rajul sawa-un sawa-un. Fa tushalli al-amah wa umm walad wa mudabbarah ‘indahum ‘iryanatu al-ra’si wa al-jasadi kullahu. Hasya muazziran yasturu ma bayna surtiha wa rakabatiha faqath, la karahata ‘inda hum fi dzalik.”

(aurat itu berbeda-beda, ‘aurat laki-laki adalah di antara pusat sampai ke lutut, lutut adalah aurat, tetapi pusat bukanlah aurat. Aurat perempuan merdeka adalah keseluruhan badannya, kecuali wajah, kedua tangan dan kaki. Aurat budak perempuan sama seperti laki-laki, sama satu sama lain. Maka budak perempuan, umm walad [budak perempuan yang melahirkan anak dari hasil hubungan seksual dengan tuannya), dan mudabbarah (salah satu jenis budak perempuan), mereka itu melakukan shalat dengan kepala dan badan terbuka keseluruhannya, kecuali rok yang menutupi antara pusat dan lutut mereka saja, tidak ada yang patut dicela dari keadaan mereka yang seperti itu.)

mukena: yang religius atau yang simbolis?

Ketika seorang perempuan muslimah hendak menjalankan shalat ia akan mengenakan mukena (di beberapa daerah di Indonesia atau Malaysia dinamakan dengan telkung atau telekung). Mukena dipakai untuk menutupi aurat. Apakah mukena ini adalah suatu hal yang religius atau masih dalam ruang lingkup yang simbolis?

Di dalam ilmu fiqih, aurat (atau 'awrah dalam bahasa Arab) didefinisikan sebagai bagian-bagian tubuh yang harus ditutup selama shalat dan tidak boleh terlihat. Dari pernyataan-pernyataan para fuqaha di masa lalu tentang definisi aurat bagi perempuan muslimah, terlihat mereka membedakan antara aurat perempuan merdeka dan budak perempuan.

Pernyataan-pernyataan para fuqaha itu memiliki potensi besar untuk membuka kembali ruang perdebatan tentang determinasi-determinasi juristik terhadap aurat dan pakaian yang harus dikenakan oleh perempuan di dalam shalat ketika salah satu komponen di dalam pernyataan para fuqaha tersebut tidak lagi eksis, yaitu budak perempuan, karena perbudakan telah lama lenyap. Pembahasan yang lebih lanjut tentang aurat dan perbedaan jenis pakaian yang harus dipakai di dalam shalat, dengan menganalisis keseluruhan pendapat di dalam kitab-kitab Fikih klasik (sebelum abad ke-18 M), akan membongkar mitos busana muslimah atau islamic female dress secara keseluruhan. Busana Muslimah adalah mitos modern yang diciptakan, sebuah konstruk baru yang tidak pernah tertulis di dalam keseluruhan kitab fikih klasik, karena seorang budak perempuan yang muslim di masa itu tidak harus mengenakan penutup kepala apa pun ketika shalat, bukankah dia seorang muslimah?

ketika yang simbolis menjadi yang ideologis

Ketika Umar bin Khattab memutuskan melarang budak perempuan memakai jilbab, ia melihat ke dalam substansi anjuran Alquran di dalam surah Al-Ahzab ayat 59, bahwa jilbab berfungsi sebagai pembeda identitas perempuan di dalam masyarakat yang belum membebaskan diri dari institusi perbudakan. Oleh karena itu saya berkesimpulan bahwa jilbab terkait erat dengan institusi perbudakan, ketika perbudakan itu masih eksis. Model pakaian ini adalah salah satu komponen penting di dalam masyarakat Arab era pewahyuan di mana perbudakan dipandang absah. Jilbab adalah simbol pembeda identitas perempuan, untuk kepentingan itulah Alquran mengadopsinya. Perlu diingat bahwa Alquran tidak pernah mengharamkan perbudakan. Alquran hanya menganjurkan agar budak-budak dibebaskan, dan kitab-kitab fiqih kerapkali menjadikan pembebasan budak sebagai mekanisme penebusan dosa. Dengan anjuran ini, tahukah Anda pada tahun berapa institusi perbudakan dihapuskan di dunia Islam? Kekhalifahan Turki Usmani baru menghapuskan perdagangan budak di seluruh teritorialnya pada tahun 1857, kecuali di Hijaz (termasuk Mekkah dan Madinah) dimana kegiatan impor dan penjualan budak terus berlangsung secara normal sepanjang paruh kedua Abad ke-19. Satu-satunya perubahan adalah lokasi penjualan budak yang dilakukan di tempat pribadi dan tidak lagi dilakukan di tempat-tempat umum. Perbudakan baru dihapuskan secara resmi di Saudi Arabia pada tahun 1962. (Lebih lengkap lihat artikel Laurence Husson, “Indonesians in Saudi Arabia: Worship and Work”, dalam Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, No. 4, 1997, halaman 117).

Sekarang kita kerap membaca di buku atau majalah-majalah Islam bahwa jilbab adalah perintah Tuhan bagi setiap perempuan Muslim, sabagai suatu kewajiban yang harus ia taati. Lalu bagaimana menjawab pertanyaan mengapa budak perempuan Muslimah tidak perlu memakai jilbab? Bahkan ketika ia hendak menjalankan shalat sekalipun?

Saya pikir jilbab sebagai pembeda pakaian perempuan merdeka dengan budak perempuan yang menjadi tujuan awal Alquran telah kadaluwarsa karena institusi perbudakan telah lama hilang di dunia Islam (walaupun institusi perbudakan di Saudi Arabia sendiri sebenarnya baru dihapuskan secara resmi pada tahun 1962). Yang tinggal kini hanyalah metamorfosis jilbab sebagai ikon busana muslimah yang dijadikan pembeda identitas antara perempuan muslimah dengan perempuan non-muslimah. Ide penegas identitas ini direproduksi dalam wacana kaum fundamentalis Islam di seluruh dunia. Pemikiran bahwa jilbab adalah busana muslimah dan bukan busana non-muslimah tidak pernah tertulis di dalam empat mazhab kitab-kitab fikih klasik. Wacana reproduksi baru ini mencoba mendirikan konstruk baru yang menghubungkan dirinya secara langsung dengan anjuran Alquran agar perempuan muslimah non-budak di masa pewahyuan mengenakan jilbab. Suatu penghubungan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Wacana ini tampaknya lahir dari semangat "kembali kepada Alquran dan Hadis". Membaca langsung Alquran dan hadis Nabi Muhammad tetapi membuang kekayaan tradisi pemikiran Islam klasik. Sebuah pembacaan yang tekstual dengan memproyeksikan problem di zaman sekarang kepada teks Alquran seringkali menghasilkan penafsiran yang ideologis, karena Alquran akhirnya hanya menjadi justifikasi dari proyeksi ideologis yang telah terbentuk sebelumnya.

Dalam ilmu fiqih ada satu kaidah yang berbunyi: al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman (hukum itu akan terus berlaku bila 'illat-nya masih terus ditemukan dan berlangsung, dan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi jika 'illat¬-nya tidak ada lagi). 'illat adalah sesuatu yang mendasari dari penerapan suatu hukum, filsafat hukum Barat mungkin menamakannya dengan effective cause atau reason.

Dalam hemat saya, reason dari hukum yang mewajibkan pemakaian jilbab itu adalah salah satu kalimat dalam ayat ke-59 dari Surah Al-Ahzab itu sendiri: 'dzalika adna an yu'rafna fa la yu'dzaina' (yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu). Dikenali sebagai perempuan merdeka dan terhormat di dalam masyarakat yang masih mengakui perbudakan. Tidak diganggu karena mereka telah mengenakan jilbab sebagai simbol status perempuan merdeka, sebuah simbol yang telah diterima secara luas di jazirah Arab hingga ke Persia. Sesuatu yang simbolis sifatnya, dan oleh karena itu juga sesuatu yang temporer dan lokal, tidak universal.

Pada zaman sekarang, 'illat dari ayat itu sudah tidak ditemukan lagi. Kini yang simbolis di dalam jilbab telah mengalami metamorfosis menjadi yang ideologis. Yang ideologis ini lahir dari pemahaman Islam ala Kaum Wahabi atau Salafawiyah yang hanya merujuk secara harfiyah kepada Alquran dan Hadis.

Yang ideologis ini akhirnya dimanfaatkan oleh para pebisnis, karena para pebisnis tidak pernah memperdulikan ideologi apa pun kecuali maksimalisasi keuntungan yang sebesar-besarnya. Maka lahirlah produk busana muslimah, pakaian renang untuk muslimah, shampo untuk yang berjilbab, majalah yang hanya terisi dengan perempuan berjilbab karena positioning majalah tersebut sebagai majalah islam agar meraih segmentasi pembaca muslim, buku-buku pelajaran yang harus dipenuhi oleh ilustrasi perempuan berjilbab agar buku itu memiliki citra sebagai buku yang absah ketika ia menjelaskan tentang Islam kepada para pelajar, dan sebagainya. Akhirnya yang ideologis pun lambat laun terkooptasi oleh yang kapitalis.

Untuk menghindari banyak implikasi negatif dari pemakaian jilbab, para pemakai jilbab (dan juga para penganjur dan pemaksanya) sebaiknya mentransformasi jilbab menjadi yang estetis, bukan yang simbolis, yang religius, apalagi yang ideologis. Jilbab tidak lagi harus selalu dipakai seperti keyakinan yang mewabah sekarang bahwa sekali seorang perempuan muslimah telah memakai jilbab maka ia tidak boleh lagi melepasnya, karena ia diyakini telah hijrah, meninggalkan pakaian jahiliyah dan memilih pakaian Islam. Hmm… keyakinan yang sangat ideologis, dan tidak memiliki justifikasi yang dapat dipertanggung¬jawabkan.

Jilbab memiliki potensi untuk menjadi pakaian resmi, seperti halnya kebaya, atau kemeja batik dan jas bagi laki-laki. Jilbab yang telah dibebaskan dari yang ideologis, yang religius dan yang simbolis akhirnya bisa dipakai oleh perempuan mana pun, tanpa memperdulikan asal-usul agama atau status sosial. Dipakai ketika menghadiri acara atau kegiatan yang lebih pantas jilbab dipakai kala itu, dan kemudian dilepas diganti dengan pakaian lain. Sesuatu yang biasa saja, seperti jas dan blazer, atau peci yang kadang dipakai, kadang dilepas. Wallahu a’lamu bish shawab .


© Sayed Mahdi, 2005