Wednesday, March 09, 2005

Tuhan ala Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, atau ala Ibnu 'Arabi? : paragraf-paragraf yang belum rampung

Ada tiga hal yang menjadi perdebatan post-mortem antara Al-Ghazali (wafat 1111 M) dan Ibnu Rusyd (wafat 1198 M) yaitu: (1) apakah Tuhan mengetahui atau tidak mengetahui hal-hal partikular dari segenap ciptaannya; (2) Di hari akhirat apakah yang terjadi adalah hanya kebangkitan ruh atau malah kebangkitan jasad; dan (3) apakah alam ini qadim (tidak bermula, tidak diciptakan dan kekal) atau jadid (bermula, obyek ciptaan Tuhan, dan tidak kekal). Tiga hal yang menjadi perdebatan di atas memang tampak sangat Platonik dan tidak perlu dipikirkan karena tampak tidak ada gunanya memikirkan hal-hal yang tidak ada keterkaitannya sama sekali dengan urusan-urusan keseharian kita yang semakin lama terlihat semakin kompleks. Tetapi benarkah tidak penting untuk direnungkan kambali? Walau secara sederhana saja? Baiklah, saya akan mencoba mengulas secara sederhana poin pertama dari perdebatan abadi di atas.

Implikasi Konsep Tuhan dalam Pemikiran Al Ghazali
Tuhan yang dikonsepsikan oleh Al-Ghazali adalah Tuhan yang tahu segala hal-hal yang partikular dalam kehidupan manusia, Tuhan yang selalu ikut campur dalam persoalan-persoalan keseharian manusia, dari mencari jodoh hingga menentukan kepemimpinan negara. Manusia dalam relasinya dengan Tuhan seperti ini adalah manusia yang selalu tampak tidak pernah mampu mengoptimalkan rasionalitasnya untuk hidup ke arah yang lebih baik. Manusia yang menganut konsep Tuhan seperti ini adalah manusia yang tidak bebas, ia meyakini determinasi-determinasi yang mengekang nalar dan potensi-potensinya sendiri. Memang Tuhan dalam konsepsi Ghazalian ini adalah Tuhan yang menenteramkan secara psikologis, menjadi pegangan ketika seseorang terperangkap dalam kegagalan dan keputusasaan, Tuhan seperti ini mungkin bisa dianalogikan dengan obat sakit kepala ketika seseorang menjadi pusing ketika ia menghadapi banyak persoalan yang seakan tak punya jalan keluar. Tetapi Tuhan Ghazalian sendiri adalah Tuhan yang selalu menjadi terdakwa ketika manusia tertimpa bencana alam. Manusia dengan pandangan ketuhanan seperti ini akan dengan mudah menunjuk Tuhan sebagai penyebab dari bencana yang menimpanya, Tuhan telah menakdirkan, ini suratan Tuhan, dan sebagainya. Tetapi ketika ia berbuat dosa dan ingin meminta ampun dari Tuhan maka manusia seperti ini akan menjadikan setan sebagai terdakwa. Setan telah menggoda saya, setan telah menipu dan menjebak saya, saya tidak tahu apa-apa, maka ampunilah saya.. wahai Tuhan. Manusia ini akan memandang bahwa akal sehat manusia adalah terbatas, dan produk-produk ciptaan akan manusia harus diletakkan di bawah wahyu Tuhan. Hukum-hukum Tuhan yang tertera dalam kitab suci harus ditegakkan untuk menjamin tercapainya kehidupan yang lebih baik (dalam kasus Islam, contohnya adalah tuntutan penerapan Syari’at Islam). Aturan-aturan Tuhan harus diikuti tanpa pemikiran ulang, karena Tuhan selalu lebih tahu apa yang lebih baik bagi manusia, sehingga kalau kita ambil contoh dalam kasus Islam, jilbab pun menjadi wajib dipakai oleh perempuan Muslim tanpa kompromi, ini terjadi karena tidak adanya pengakuan akan kemampuan akal untuk memahami atau memilah mana yang universal dan mana yang temporer-kontekstual dalam ayat-ayat kitab suci.
...................
Konsep Tuhan Ghazalian ini tidaklah berarti konsep yang semata-mata digagas oleh Imam Ghazali tetapi juga mencakup pemikiran-pemikiran Teologis dari Imam Syafi'i, Imam Asy'ari, dan mayoritas teolog Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ini karena pemikiran-pemikiran teologis mereka relatif sama, untuk tidak mengatakan persis sama.
......................
Implikasi Tuhan Ghazalian ini juga merembes ke pemahaman tentang Keterciptaan Alquran. Suatu debat klasik antara para teolog Mu'tazilah dan Asy'ariyah tentang apakah Alquran diciptakan oleh Tuhan (sehingga dipandang sebagai Makhluq) dalam periode waktu kenabian Muhammad atau dia abadi (qadim) bersama keabadian Tuhan, abadi karena Qur'an adalah Kalam Tuhan yang mewujud dari ilmu Tuhan yang abadi dan tak bermula bersama ketakbermulaan Tuhan. Suatu debat ultra-platonik yang juga terkesan membuang-buang waktu. Tapi benarkah debat ini membuang-buang waktu? Apakah keterikutan atau persetujuan Anda atau suatu komunitas Muslim terhadap salah satu dari pandangan di atas (apakah Mu'tazilah atau Asy'ariyah) tidak membawa implikasi-implikasi lebih lanjut, baik dalam tataran keberagamaan, dan pengaturan hidup bermasyarakat?
Tuhan Ghazalian adalah tuhan yang serba tahu hingga hal-hal yang belum terjadi pun Dia telah mengetahui. Pengetahuan Tuhan Ghazalian tidaklah sama dengan pengetahuan seorang manusia yang sekedar mengetahui tetapi pengetahuan Tuhan Ghazalian adalah pengetahuan yang menetapkan, memutuskan. Tuhan tahu bahwa suatu waktu kelak si A akan membunuh si B, pengetahuan Tuhan ini berarti Tuhan telah menetapkan si A akan membunuh si B, karena kalaulah Tuhan tidak menetapkan alias sekedar tahu, berarti ada subyek lain di luar diri Tuhan yang berkuasa untuk melakukan tindakan. Kalau subyek lain ini berkuasa untuk melakukan tindakan, maka dia juga berkuasa untuk tidak melakukan tindakan yang sebelumnya telah diketahui oleh Tuhan Ghazalian. Kalau ini terjadi maka pengetahuan Tuhan Ghazalian bisa terbukti bisa pula tidak, karena tergantung pada subyek yang memiliki kuasa tadi. Maka subyek selain Tuhan haruslah tidak berkuasa atas tindakan-tindakannya, agar pengetahuan Tuhan tentang apa yang akan terjadi adalah pengetahuan yang pasti, sehingga kuasa untuk menetapkan hanyalah milik Tuhan semata. Implikasinya makhluk tidak punya kuasa apa pun untuk menetapkan dan mengubah kehendak atau perbuatannya tanpa sepengetahuan Tuhan atau izin-Nya.
................................

Implikasi Konsep Tuhan dalam Pemikiran Ibnu Rusyd
Tuhan yang dikonsepsikan oleh Averroes adalah Tuhan yang tidak mengetahui hal-hal yang partikular. Tuhan yang tidak tahu (atau tidak mau tau?) hal-hal yang menjadi pergumulan keseharian manusia, apakah persoalan pribadi atau tatanan alam setelah ia menciptakannya. Tuhan Averroes adalah Tuhan yang hanya mengurus hal-hal yang general seperti penciptaan alam dan penetapan hukum-hukum alam yang menjaga keseimbangan alam dan makhluk yang hidup di dalamnya. Manusia dalam relasinya dengan Tuhan ala Averroes adalah manusia yang otonom, manusia yang menjadi pengganti Tuhan di bumi, karena manusia telah dianugrahi Tuhan dengan akal sehat, rasionalitas yang akan membimbingnya ke arah kehidupan yang lebih baik. Di sini kita tidak merujuk kepada akal atau rasionalitas seorang yang, maaf, terbelakang mental misalnya, tetapi rasionalitas dalam pencapaiannya yang paling tinggi dari seorang manusia atau secara kolektif. Manusia seperti ini akan mampu untuk memahami yang mana yang universal dan yang mana yang temporer dalam kitab suci. Yang mana yang menjadi pesan moral lintas zaman di dalam kitab suci dan yang mana yang hanya merupakan bungkus luar yang merupakan produk kultural yang turut masuk ke dalam uraian kitab suci. Mengapa? Karena ia mampu mengaktualisasikan segenap potensi akal sehat yang ia miliki, karena ia meyakini bahwa Tuhan tidak akan turut campur dalam urusan-urusan yang ia telah atau akan jalani. Jika ia menghadapi bencana, maka ia akan langsung mengontrospeksi dirinya dan perbuatan manusia lain, atau mekanisme alam, dan tidak menunjuk Tuhan sebagai terdakwa atau penyebab terjadinya bencana, karena Tuhan telah pensiun bukan?
…………………..
Tuhan ala Averroes yang rasional adalah Tuhan yang menjadi inspirasi dari para pemikir peletak dasar Pencerahan Eropa, karya-karyanya (yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin) dibaca luas, tetapi meresahkan para agamawan (Islam, dan juga Katolik), hingga St. Thomas Aquinas pada waktu itu (yang secara tidak langsung adalah Ghazalian) sampai harus menulis buku yang menyerang pengikut Averroes (buku Aquinas ini diterjemahkan oleh Beatrice Zedler dengan judul On The Unity of the Intellect against the Averroist (Milwaukee: Marquette University Press, 1968)

Implikasi Konsep Tuhan dalam Pemikiran Ibnu 'Arabi
Tetapi akan menjadi cukup menarik jika saya mengutip pernyataan Muhyiddin ’Ibnu ’Arabi, seorang sufi wahdatul wujud (kerap diterjemahkan menjadi panteism, tetapi sebenarnya tidak tepat karena wahdatul wujud dan panteism memiliki akar pemikiran dan kultural yang berbeda) yang terkemuka :
”Ada dua jenis Tuhan, Tuhan yang dikonsepsikan dan Tuhan yang tidak pernah bisa dikonsepsikan.

Diupayakan Bersambung……….

Pertanyaan-pertanyaan

Dalam tulisan di bawah ini, Islam saya artikan sebagai seperangkat ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW pada abad ke 7 Masehi di jazirah Arab. Bagi seorang muslim, ajaran-ajarannya itu diyakini berdasar pada wahyu Tuhan (dalam bahasa Arab disebut dengan Allah). Dalam masa penyampaian ajarannya itu, perkataan, tindakan, persetujuan dan juga ketidaksetujuan Muhammad terhadap suatu hal ditulis oleh para sahabat-sahabatnya, dan kemudian ditransmisikan secara lisan dan juga tulisan kepada generasi-genarasi berikutnya. Wahyu Allah disebut sebagai Alquran, ditulis dan tersebar luas. Perilaku Muhammad disebut dengan sunnah atau hadis, juga ditulis dan tersebar luas. Dua hal itulah yang menjadi dasar utama pola pikir, cara bertindak, dan sudut pandang orang-orang yang meyakini Islam.

Apa yang menjadi problema besar untuk orang-orang yang memeluk Islam di masa sekarang ini dan di masa yang akan datang? Di banyak belahan dunia, Islam sekarang dijadikan sebagai kendaraan untuk tujuan-tujuan politik dan kekerasan yang menjadikan wajah Islam secara general memiliki karakteristik bringas, kejam dan terkait dengan kekerasan. Mungkin kita tidak bijak kalau kita secara langsung menyalahkan orang-orang yang terlibat dalam gerakan-gerakan radikal yang menjadikan Islam sebagai orientasi ideologisnya.

Orang-orang yang terlibat dalam gerakan radikal ini muncul karena realitas yang mereka hadapi juga radikal. Marginalisasi, pemiskinan struktural, perampokan sumber daya oleh kapitalisme global, kekerasan negara, agresi militer Amerika Serikat, semuanya adalah realitas yang radikal. Orang-orang beringas lahir dari kondisi di luar mereka yang juga beringas. Di samping kalangan radikal, ada varian keislaman yang lain. Di sini saya sebut dengan kalangan puritan baru.

Siapakah yang saya maksudkan dengan orang-orang puritan baru? kalangan puritan baru adalah orang-orang yang mengamalkan Islam dalam versinya yang paling eksklusif. Mereka tidak melakukan aksi kekerasan, tetapi memilih untuk menjalankan Islam secara ketat (kaffah). Menerapkan hukum secara langsung dengan menetapkan hukum yang diderivasi secara harfiyah dari Alquran dan Hadis. Kebanyakan kalangan puritan baru menyelesaikan pendidikan mereka di lembaga-lembaga pendidikan sekular, dan meraih kesarjanaan dalam bidang sains. Yang laki-laki berjanggut dan yang perempuan berjilbab (ada juga yang memakai cadar). Di sini saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan kalangan puritan baru ini, mereka muncul karena kondisi dan realitas sosial yang spesifik, realitas seperti apa yang mampu memunculkan orang-orang puritan baru? Dengan realitas spesifik yang mereka hadapi mereka kemudian merasa gelisah, dan mencari pemuas kegelisahan itu dari Islam, atau apa yang mereka yakini sebagai Islam. Islam seperti apa yang kerapkali ditemui oleh kalangan puritan baru? Mengapa Islam dalam varian ini begitu mudah diterima dan menyebar luas sehingga menjadi orientasi paradigmatik yang mudah berkecambah? Orang-orang yang memiliki latar belakang apa yang paling sering terikut dalam pengajaran Islam puritan ini? Apakah ada varian dalam keislaman kalangan puritan baru ini? Kalaulah ada apa saja varian itu?

Apakah ajaran Islam memiliki banyak potensi yang membuat orang-orang puritan baru memiliki justifikasi atau pendasaran terhadap perilakunya? Bagian manakah dari ajaran Islam itu yang paling banyak menjadi pendasaran perilaku mereka? Bagaimanakah khazanah Islam klasik berinteraksi dengan bagian Islam ini? Apakah ada perbedaan pemahaman? Kalaulah ada perbedaan pemahaman terhadap bagian Islam itu, mengapa kalangan puritan baru memilih mengambil versi penafsiran yang paling puritan? Bagaimanakah mekanisme transmisi ilmu-ilmu keislaman di kalangan puritan baru? Mungkinkah ada lompatan paradigmatik di kalangan puritan baru menuju varian Islam yang lain, misalnya menuju Islam radikal yang menggunakan cara kekerasan, atau malah berbalik menuju varian Islam yang lebih inklusif dan liberal? Kalaulah kemungkinan itu ada, variabel apa yang terkait dalam proses itu? Orang-orang dengan latar belakang seperti apa yang paling memungkinkan mengalami lompatan seperti itu?